detikline.com Jakarta - Kalimantan Barat merupakan sebuah wilayah kepulauan yang cukup luas, letaknya berada di sebelah Timur wilayah Negar...
detikline.com Jakarta - Kalimantan Barat merupakan sebuah wilayah kepulauan yang cukup luas, letaknya berada di sebelah Timur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan wilayah yang sangat luas tersebut sehingga pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1955 pada era masa pemerintahan Presiden Soekarno, telah menempatkan 455 Kepala Keluarga (KK) dari Jawa Timur (Ja-Tim) dan Jawa Tengah (Ja-Teng) di sebagian kecil wilayah Kalimantan Barat (Kal-Bar) sebagai warga Transmigrasi.
Baca juga : Dukung Seminar Nasional, Pelindo II Siap Sukseskan Hari Pers Nasional (HPN) 2021
Berkat kegigihan warga transmigrasi dan perjuangan yang tak mengenal lelah akhirnya menuai hasil, mereka para transmigran membuka dan mengelola lahan yang awalnya adalah merupakan hutan belantara menjadi lahan pertanian palawija.
Kini, area transmigrasi tersebut sudah menjadi lahan pertanian yang produktif hasil bumi dikirim ke pasar-pasar tradisional, seperti di Kubu Raya, dan Kota Pontianak.
Sebanyak 455 warga transmigrasi yang didatangkan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah tersebut mendapatkan areal lahan perumahan , areal lahan pertanian, dan areal lahan pecahan KK dari Dirjen transmigrasi seluas 1.020 ha berada di sebelah barat bandar udara internasional Supadio dengan nama transmigrasi Sui durian 1955.
Kampung Sari Rejo, Dusun Sidomulyo, Desa Limbung Kecamatan Sui Raya Kabupaten Kubu Raya Propinsi Kalimantan Barat (identitas areal transmigrasi 1955).
Baca juga : Saksikan! Pemenang Anugerah Adinegoro 2020, di TVRI Malam Ini Pukul 20.00 WIB
Dengan batas-batas wilayah transmigrasi yakni sebelah timur berbatasan dengan areal lahan bandara Supadio, sementara sebelah badat berbatasan dengan Desa Unit Kampung Scunder C kecamatan Rasau Jaya, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Arang Limbung Kecamatan Sui Raya, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kuala Dua Kecamatan Sui Raya.
Areal transmigran yang diberikan oleh Dirjen Transmigrasi pada saat itu terbagi 3 peruntukan yakni:
1. Lahan perumahan seluas 0,5 ha per KK ( pembukaan hutan serta pembangunan rumah di lakukan oleh pemerintah)
2.Lahan pertanian seluas 2 ha untuk setiap KK yang penebangan hutannya dilakukan pemerintah.
3.Lahan pecahan KK / persiapan pemecahan KK baru, yang penebangan hutannya dilakukan oleh warga transmigrasi.
Dari seluruh areal tersebut pemberian Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan yang telah menjadi milik warga diberikan oleh pemerintah secara bertahap, yakni untuk tahap ke-1 dibagikan pada tahun 1982, dan untuk tahap ke-2 sebagiannya dibagikan Sertifikat Hak Miliknya oleh pemerintah pada Tahun 2007.
Namun, terdapat lahan yang tidak dapat diterbitkan SHM oleh Badan Pertanahan Negara (BPN/ ATR) pada saat itu, oleh karena sudah ada terbit sertifikat atas pengajuan pribadi yakni seluas kurang lebih 40 ha atas nama pihak lain, yang bukan warga transmigrasi.
Peristiwa itu menjadikan warga sangat bingung dan resah, pasalnya lahan yang diterimanya dari pembagian Dirjen transmigrasi sudah di sertifikatkan oleh pihak lain, yang bukan pemilik yang menebang hutan, juga bukan warga yang mengelola apalagi warga transmigrasi juga tidak adanya informasi dari pihak terkait.
Baru pada tahun 2020 ini pihak warga baru mengetahui kalau pemilik sertifikat di atas lahan seluas kurang lebih 40 ha tersebut adalah milik seorang pengusaha berinisiak SW penduduk Kota Pontianak Kalimantan Barat.
Adanya 5 warga penggarap yang di gugat oleh SW dengan tuduhan menggarap tanpa ijin pemilik sertifikat.
Dengan adanya pengukuran balik batas lahan seluas 40 ha oleh BPN Kabupaten Kubu Raya atas permohonan dari SW dan kawan-kawan, sehingga terjadilah proses persidangan.
Baca juga : Rekaman CCTV Ungkap Kasus Pencurian Ponsel Di Tambora
Di pengadilan Negeri Mempawah Provinsi Kalimantan Barat, dan telah ada keputusan hukum, yakni mengabulkan gugatan pemilik sertifikat atas nama SW, dan menyalahkan warga masyarakat yang menggarap dan bercocok tanam diatas lahan transmigrasi milik penggarap, yang menggarap dan bercocok tanam diatas lahan transmigrasi milik penggarap.
Oleh karena bersertipikat hak milik penggugat atas nama SW, sehingga terjadilah upaya hukum yang ditempuh oleh sebagian warga transmigrasi yakni banding pada pengadilan Negeri tingkat tinggi Kalbar.
Namun lagi-lagi Pengadilan Tinggi menguatkan keputusan pengadilan Negeri Mempawah hanya dalam kurun waktu satu bulan sejak dimulainya proses.
Sehingga warga selaku pemilik lahan sampai dengan hari ini belum mendapatkan keadilan dari Pengadilan Negeri ini.
Padahal warga telah berupaya mengirimkan surat ke pihak Pemerintah sampai ke Presiden RI Joko Widodo guna mendapatkan penegakan keadilan hukum atas kepemilikan lahan tersebut.
Namun sampai terjadinya keputusan pengadilan tinggi saat inipun belum ada atensi apapun dari pihak pemerintah pusat maupun daerah.
Kini warga berupaya akan menempuh jalur kasasi di Mahkamah Agung (MA) guna mendapatkan keadilan sebagai upaya hukum terakhir, meskipun warga meyakini belum tentu bisa mengembalikan hak-haknya, mengingat warga transmigrasi ini tidak memiliki kemampuan apapun kecuali hanya menanam sayur mayur dan membuka lahan.
Sedangkan pihak yang menggugat memiliki segalanya terbukti dapat menerbitkan Sertipikat Hak Milik (SHM) di atas lahan transmigrasi dari desa lain, yang bukan desa transmigrasi yang bersusah payah menebang hutan, mengelola lahan, merawat serta bercocok tanam malah di anggap bersalah oleh hakim pada pengadilan negeri kabupaten dan hakim pada pengadilan tingkat provinsi.
Pertanyaanya dimanakah keadilan berpihak? Masih adakah keadilan di negeri ini?
Sekadar diketahui, warga transmigrasi Sungai durian pada masa era pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1955, adalah warga transmigrasi pertama yang menginjakkan kakinya di Kalimantan Barat, mereka berharap hadirnya pemerintah dan penguasa untuk kebenaran yang seadil-asilnya dalam kasus ini. Reporter : A.Hariri / M.Taufik Hidayat.